POTENSI LAMUN
Luas
padang lamun di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 km2 yang
dihuni oleh 13 jenis lamun. Suatu padang
lamun dapat terdiri dari vegetasi tunggal yakni tersusun dari satu jenis lamun
saja ataupun vegetasi campuran yang terdiri dari berbagai jenis lamun. Di
setiap padang lamun hidup berbagai biota lainnya yang berasosiasi dengan lamun,
yang keseluruhannya terkait dalam satu rangkaian fungsi ekosistem.
Gambar 1. Lamun sendok Halophyla ovalis
Lamun juga penting bagi perikanan,
karena banyak jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting, hidup di lingkungan
lamun. Lamun dapat befungsi sebagai tempat ikan berlindung, memijah dan
mengasuh anakannya, dan sebagai tempat mencari makan. Selain ikan, beberapa
biota lainnya yang mempunyai nilai ekonomi juga dapat dijumpai hidup di padang
lamun seperti teripang, keong lola (Trochus), udang dan berbagai jenis
kerang-kerangan. Beberapa hewan laut yang sekarang makin terancam dan telah
dilindungi seperti duyung (dugong) dan penyu (terutama penyu hijau) makanannya
terutama teridiri dari lamun. Lamun juga mempunyai hubungan interkoneksi dengan
mangrove dan terumbu karang sehingga diantara ketiganya dapat terjadi saling
pertukaran energi dan materi.
Dilihat dari aspek pertahanan
pantai, padang lamun dengan akar-akarnya
yang mencengkeram dasar laut dapat meredam gerusan gelombang laut hingga padang
lamun dapat mengurangi dampak erosi. Padang lamun juga dapat menangkap sedimen
hingga akan membantu menjaga kualitas air.
GANGGUAN DAN ANCAMAN TERHADAP LAMUN
Meskipun
lamun kini diketahui mempunyai banyak manfaat, namun dalam kenyataannya lamun
menghadapi berbagai ganggujan dan ancaman. Gangguan dan ancaman terhadap lamun
pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua golongan yakni gangguan alam dan
gangguan dari kegiatan manusia (antropogenik).
1.
Gangguan
alam
Fenomena alam seperti tsunami,
letusan gunung api, siklon, dapat menimbulkan kerusakan pantai, termasuk juga
terhadap padang lamun. Tsunami yang dipicu oleh gempa bawah laut dapat
menimbulkan gelombang dahsyat yang menghantam dan memorak-perandakan lingkungan
pantai, seperti terjadi dalam tsunami Aceh (2004). Gempa bumi, seperti gempa
bumi Nias (2005) mengangkat sebagian
dasar laut hingga terpapar ke atas permukaan dan menenggelamkan bagian lainnya
lebih dalam. Debu letusan gunung api seperti letusan Gunung Tambora (1815) dan
Krakatau (1883) menyelimuti perairan pantai sekitarnya dengan debu tebal,
hingga melenyapkan padang lamun di sekitarnya.
Siklon tropis dapat menimbulkan
banyak kerusakan pantai terutama di lintang 10 - 20o Lintang Utara
maupun Selatan, seperti yang sering menerpa Filipina dan pantai utara
Australia. Kerusakan padang lamun di pantai utara Australia karena diterjang
siklon sering dilaporkan. Indonesia yang berlokasi tepat di sabuk katulistiwa, bebas dari jalur siklon, tetapi
dapat menerima imbas dari siklon daerah lain. Siklon Lena (1993) di Samudra
Hindia misalnya, lintasannya mendekati Timor dan menimbulkan kerusakan besar
pada lingkungan pantai di Maumere.
Selain kerusakan fisik akibat
aktivitas kebumian, kerusakan lamun karena aktivitas hayati dapat pula
menimbulkan dampak negatif pada keberadaan lamun. Sekitar 10 – 15 % produksi
lamun menjadi santapan hewan herbivor, yang kemudian masuk dalam jaringan
makanan di laut. Di Indonesia, penyu
hijau, beberapa jenis ikan, dan bulubabi, mengkonsumsi daun lamun. Duyung tidak
saja memakan bagian dedaunannya tetapi juga sampai ke akar dan rimpangnya.
2.
Gangguan
dari aktivitas manusia
Pada dasarnya ada empat jenis
kerusakan lingkungan perairan pantai yang disebabkan oleh kegiatan manusia,
yang bisa memberikan dampak pada lingkungan lamun:
a) Kerusakan
fisik yang menyebabkan degradasi lingkungan, seperti penebangan mangrove,
perusakan terumbu karang dan atau rusaknya habitat padang lamun;
b) Pencemaran
laut, baik pencemaran asal darat, maupun dari kegiatan di laut;
c) Penggunaan
alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan;
d) Tangkap
lebih, yakni eksploitasi sumberdaya secara berlebihan hingga meliwati kemampuan
daya pulihnya
a.
Kerusakan fisik
Kerusakan fisik terhadap padang
lamun telah dilaporkan terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di Pulau Pari
dan Teluk Banten, kerusakan padang lamun disebabkan oleh aktivitas
perahu-perahu nelayan yang mengeruhkan perairan dan merusak padang lamun.
Reklamasi dan pembangunan kawasan industri dan pelabuhan juga telah melenyapkan
sejumlah besar daerah padang lamun seperti terjadi di Teluk Banten. Di Teluk
Kuta (Lombok) penduduk membongkar karang-karang dari padang lamun untuk bahan
konstruksi, atau untuk membuka usaha budidaya rumput laut. Demikian pula
terjadi di Teluk Lampung. Di Bintan (Kepulauan Riau) pembangunan resor
pariwisata di pantai banyak yang tak mengindahkan garis sempadan pantai,
pembangunan resor banyak mengorbankan padang lamun.
b.
Pencemaran laut
Pencemaran laut dapat bersumber
dari darat (land based) ataupun dari kegiatan di laut (sea based).
Pencemaran asal darat dapat berupa limbah dari berbagai kegiatan manusia di
darat seperti limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian, atau
pengelolaan lahan yang tak memperhatikan kelestarian lingkungan seperti
pembalakan hutan yang menimbulkan erosi dan mengangkut sedimen ke laut. Bahan
pencemar asal darat dialirkan ke laut lewat sungai-sungai atau limpasan (runoff).
Masukan hara (terutama fosfat
dan nitrat) ke perairan pantai dapat
menyebabkan eutrofikasi atau penyuburan berlebihan, yang mengakibatkan
timbulnya ledakan populasi plankton (blooming) yang mengganggu pertumbuhan
lamun. Epiffit yang hidup menempel di permukaan daun lamun juga dapat tumbuh
kelewat subur dan menghambat pertumbuhan lamun. Kegiatan penambangan didarat,
seperti tambang bauksit di Bintan, limbahnya terbawa ke pantai dan merusak
padang lamun di depannya.
Pencemaran dari kegiatan di laut
dapat terjadinya misalnya pada tumpahan minyak di laut, baik dari kegiatan
perkapalan dan pelabuhan, pemboran, debalasting muatan kapal tanker. Bencana
yang amat besar terjadi saat kecelakaan tabrakan atau kandasnya kapal tanker
yang menumpahkan muatan minyaknya ke perairan pantai, seperti kasus kandasnya
supertanker Showa Maru yang merusak perairan pantai Kepuluan Riau.
c. Penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan
Beberapa alat tangkap ikan yang tak
ramah lingkungan dapat menimbulkan kerusakan pada padang lamun seperti pukat
harimau yang mengeruk dasar laut. Penggunaan bom dan racun sianida juga
ditengarai menimbulkan kerusakan padang lamun. Di Lombok Timur dilaporkan
kegiatan perikanan dengan bom dan racun yang menyebabkan berkurangnya kerapatan
dan luas tutupan lamun.
d. Tangkap lebih
Salah
satu tekanan berat yang menimpa ekosistem padang lamun adalah tangkap lebih (over
fishing), yakni eksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan hingga
melampaui kemampuan ekosistem untuk segera memulihkan diri. Tangkap lebih bisa
terjadi pada ikan maupun hewan lain yang berasosiasi dengan lamun. Banyak jenis
ikan lamun yang kini semakin sulit
dicari, dan ukurannya pun semakin kecil. Demikian pula teripang pasir (Holothuria
scabra), dan keong lola (Trochus)
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sekarang sudah sangat sulit dijumpai
dalam alam. Duyung yang hidupnya bergantung sepenuhnya pada lamun kini telah menjadi hewan langka yang dilindungi,
demikian pula dengan penyu, terutama penyu hijau.
AKAR MASALAH PENGELOLAAN
Merujuk pada gangguan atau
kerusakan padang lamun seperti disebut di atas, maka perlulah diidentifikasi
akar masalahnya. Pada dasarnya manusia tak dapat
mengontrol dan mengelola fenomena alam seperti tsunami, gempa, siklon. Kita
hanya bisa melakukan mitigasi atau penanggulangan akibat yang ditimbulkannya.
Di samping itu alam juga mempunyai ketahanan (resilience) dan
mekanismenya sendiri untuk memulihkan dirinya dari gangguan sampai batas
tertentu.
Dalam pengelolaan padang lamun,
yang terpenting adalah mengenali terlebih dahulu akar masalah rusaknya padang
lamun yang pada dasarnya bersumber pada perilaku manusia yang merusaknya.
Berdasar acuan tersebut maka akar
masalah terjadinya kerusakan padang lamun dapat dikenali sebagai berikut:
1. Kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang lamun dan perannya dalam lingkungan.
2. Kemiskinan
masyarakat
3. Keserakahan
mengeksploitasi sumberdaya laut;
4. Kebijakan
pengelolaan yang tak jelas;
5. Kelemahan
perundangan
6. Penegakan
hukum yang lemah
REHABILITASI PADANG LAMUN
Merujuk pada kenyataan bahwa padang
lamun mendapat tekanan gangguan utama dari aktivitas manusia maka untuk
rehabilitasinya dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan: yakni: 1)
rehabilitasi lunak (soft rehabilitation) , dan 2) rehabilitasi keras (hard
rehabilitation).
1)
Rehabilitasi
lunak
Rehabilitasi lunak berkenan dengan penanggulangan
akar masalah, dengan asumsi jika akar
masalah dapat diatasi, maka alam akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasi
dirinya sendiri secara alami. Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada
pengendalian perilaku manusia. Rehabilitasi lunak bisa mencakup hal-hal sebagai berikut:
a)
Kebijakan dan strategi pengelolaan.
b) Penyadaran masyarakat (Public awareness). Penyadaran masyarakat dapat dilaksanakan
dengan berbagai pendekatan seperti:
Kampanye
penyadaran lewat media elektronik (televisi, radio), ataupun lewat media cetak
(koran, majalah, dll)
Penyebaran
berbagai materi kampanye seperti: poster, sticker, flyer, booklet, dan
lain-lain
Pengikut-sertaan
tokoh masyarakat (seperti pejabat pemerintah, tokoh agama, tokoh wanita,
seniman, dll) dalam penyebar-luasan
bahan penyadaran.
c)
Pendidikan. Pendidikan mengenai lingkungan termasuk
pentingnya melestarikan lingkungan padang lamun. Pendidikan dapat disampaikan
lewat jalur pendidikan formal dan non-formal.
d)
Pengembangan riset.
Riset diperlukan untuk mendapatkan
informasi yang akurat untuk mendasari pengambilan keputusan dalam pengelolaan
lingkungan.
e) Mata pencaharian alternatif. Perlu dikembangkan berbagai kegiatan untuk
mengembangkan mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat yang lebih sejahtera lebih mudah diajak untuk menghargai dan
melindungi lingkungan.
f)
Pengikut sertaan masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan lingkungan dapat memberi
motivasi yang lebih kuat dan lebih menjamin keberlanjutannya. Kegiatan bersih
pantai dan pengelolaan sampah misalnya merupakan bagian dari kegiatan ini.
g) Pengembangan Daerah Pelindungan Padang Lamun
(segrass sanctuary) berbasis masyarakat.
Daerah Perlindungan Padang Lamun (DPPL) merupakan bank sumberdaya yang dapat
lebih menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. DPPL berbasis
masyrakat lebih menjamin keamanan dan keberlanjutan DPPL.
h) Peraturan perundangan.
Pengembangan pengaturan perundangan
perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan kepentingan
masyarakat luas. Keberadaan hukum adat,
serta kebiasaan masyarakat lokal perlu dihargai dan dikembangkan.
i) Penegakan hukum secara konsisten. Segala
peraturan perundangan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat ditegakkan
secara konsisten. Lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum perlu
diperkuat, termasuk lembaga-lembaga adat.
2.
Rehabilitasi keras
Rehabilitasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan di lapangan. Ini dapat
dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi
lamun di lingkungan yang perlu direhabilitasi. Kegiatan transplantasi lamun
belum berkembang luas di Indonesia. Berbagai percobaan transpalantasi lamun
telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang masih dalam
taraf awal. Pengembangan transplantaasi lamun telah dilaksanakan di luar negeri
dengan berbagai tingkat keberhasilan.
Gambar 2. Padang lamun
PENANAMAN LAMUN
Penanaman lamun dilakukan pada lokasi yang telah dipilih
berdasarkan kriteria yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Setelah
kegiatan penanaman 1, tahap selanjutnya dilakukan secara bertahap setiap
bulan di lokasi rehabilitasi, yang bertujuan memperluas wilayah yang ditanam
dan mengganti jika terdapat tanaman lamun yang mati atau rusak. Penanaman lamun
dilakukan dengan beberapa metode sebagai berikut (e.g. Fonseca et al. 1998 in
Calumpong and Fonseca, 2001 dalam Taurusman, et.al¸(2009):
1.
Metode TERFs
TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame system)
merupakan metode transplantasi lamun yang dikembangkan oleh F. T. Short di
Universitas of New Hampshire, USA (Short et al. 2001 dalam Taurusman,
et.al¸(2009)). TERFs adalah unit penanaman lamun berupa tunas yang diikat pada
frame besi (TERFs frame). Pada metode ini beberapa tunas lamun dengan jarak
tertentu diikatkan pada frame besi dengan menggunakan material yang mudah larut
seperti kertas tissue. Setiap rimpang yang bertunas muda yang diambil dari
donor diikatkan ke sisi rak dengan menggunakan kertas tissue. Kemudian tanaman
lamun dan frame diletakkan di atas substrat dasar dengan sedikit tekanan
sehingga frame besi bagian bawah dapat masuk beberapa centimeter ke dalam
substrat dasar.
2.
Metode Plug
Merupakan pengambilan bibit tanaman dilakukan dengan pipa
PVC dengan diameter 10,15 cm. Tanaman donor dipindahkan dengan substratnya pada
lokasi rehabilitasi yang terlebih dahulu dipersiapkan lobangnya dengan PVC
corer. Pada kegiatan ini corer yang digunakan adalah sebuah pipa paralon yang
dapat diatur tingkat kevakumannya dengan sebuah valve kontrol udara di ujung
atas tabung tersebut. Penggunaan alat ini adalah untuk mengambil tanaman lamun
secara lengkap dari lokasi donor beserta sekaligus substrat dasarnya.
3.
Metode Sod/Turfs
Pada lokasi-lokasi dimana substrat dasarnya yang keras (ditutupi
pecahan karang mati) dan dangkal, digunakan teknik Sod/Turfs, yakni dengan
prinsip yang sama dengan metode plug, tapi alat bantu corer diganti dengan
skop. Turfs adalah sebuah unit tanaman lamun beserta akar dan rimpangnya dengan
luas sekitar 0,1 m2 yang digali dan dipindahkan dari tempat donor dengan sebuah
skop. Unit dibawa ke lokasi penanaman dan unit transplantasi lamun ditanam
dengan cara dimasukan pada sebuah lubang yang sebelumnya telah dipersiapkan.
4.
Metode modifikasi peat pot
Menurut Calumpong and Fonseca (2001) dalam Taurusman,
et.al¸(2009) metode peat pot adalah metode transplantasi lamun yang menggunakan
wadah dalam kegiatan penanaman, wadah tersebut dapat berbentuk kotak ataupun
bulat dan diharapkan akan terdegradasi secara alami, biasanya berukuran 8 cm x
8 cm. Dengan menggunakan metode ini lamun donor diambil dari lokasi yang
memiliki kepadatan lamun tinggi dengan menggunakan cangkul ataupun corer.
Pada saat penanaman pot, lubang terlebih dahulu dipersiapkan, kemudian pot
dibenamkan ke dalam lubang tersebut sedemikian rupa sehingga terkubur dalam
substratnya dengan kokoh. Penggunaan corer dimaksudkan agar seluruh bagian
lamun beserta substratnya dapat terangkat secara utuh. Modifikasi dilakukan
dengan plastik polybag. Tanaman lamun lengkap dengan seluruh sistem perakaran
beserta substrat asalnya yang diambil dengan menggunakan PVC Core dimasukkan ke
dalam plastik polybag lalu ditanam di lokasi transplantasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Taurusman, et.al. 2009. Peran Ekosistem Lamun dalam Produktivitas
Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. Jakarta.
Informasi yang sangat baik
BalasHapusTulisan yg bagus dan bisa dijadikan referensi utk praktikum lapangan
BalasHapusTerima kasih
BalasHapus