Jumat, 26 Juli 2013

Adaptasi Organisme Bentos pada Substrat Berlumpur


Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan  di dunia  yang mempunyai wilayah pantai dan laut yang cukup luas .  Memiliki sekitar 17.508 pulau besar dan kecil  dengan luas wilayah laut  sekitar 5,8 juta km2 dengan panjang garis pantai  sekitar 81.000 km (Dahuri, 2000)  serta 472 sungai besar dan sungai kecil (Departemen Kehutanan, 1999). 
Pada muara-muara sungai terbentuk ekosistem estuaria yang  merupakan percampuran air tawar dan air laut yang menjadikan wilayah ini unik dengan terbentuknya air payau dengan salinitas yang berfluktuasi.  Perbedaan salinitas mengakibatkan terjadinya  lidah air tawar dan pergerakan massa di muara.  Aliran air tawar dan air laut yang terus menerus membawa mineral, bahan organik, serta sedimen dari hulu sungai ke laut dan sebaliknya dari laut ke muara.  Unsur hara ini mempengaruhi produktivitas wilayah perairan muara. Karena itu, produktivitas muara lebih tinggi dari produktivitas ekosistem laut lepas dan perairan tawar.
            Salah satu daerah yang berlumpur adalah daerah estuary. Di daerah berlumpur ini juga ternyata masih banyak organisme yang dapat hidup. Oleh karena itu makalah ini disusun untuk mengetahui bagaimana adaptasi makhluk hidup khususnya bentos di daerah berlumpur ini.

Makrozoobentos

             Hewan yang hidup di dasar perairan adalah makrozoobentos. Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai organisme kunci dalam jaring makanan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran. Dengan adanya kelompok bentos yang hidup menetap (sesile) dan daya adaptasi bervariasi terhadap kondisi lingkungan, membuat hewan bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Jika ditemukan limpet air tawar, kijing, kerang, cacing pipih siput memiliki operkulum dan siput tidak beroperkulum yang hidup di perairan tersebut maka dapat digolongkan kedalam perairan yang berkualitas sedang (Pratiwi dkk, 2004).
Makrobentos memiliki peranan ekologis dan struktur spesifik dihubungkan dengan makrofita air yang merupakan materi autochthon. Karakteristik dari masing-masing bagian makrofita akuatik ini bervariasi, sehingga membentuk substratum dinamis yang komplek yang membantu pembentukan interaksi-interaksi makroinvertebrata terhadap kepadatan dan keragamannya sebagai sumber energi rantai makanan pada perairan akuatik.
Menurut Welch (1980), kecepatan arus akan mempengaruhi tipe substratum, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kepadatan dan keanekaragaman makrobentos. Habitat danau yang bercirikan dangkal dan kaya kandungan nutrien mampu mendukung keanekaragaman makrobentos. Keanekaragaman yang tidak beda disebabkan sedimen danau merupakan habitat alami bagi berbagai jenis makrobentos untuk menghabiskan seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya di dasar perairan. Fauna bentik ini makan deposit organik dari detritus eceng gondok, bakteri dan jamur yang melekat pada detritus.
Sebagaimana kehidupan biota lainnya, penyebaran jenis dan populasi komunitas bentos ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Sifat fisik perairan seperti pasang surut, kedalaman, kecepatan arus, warna, kekeruhan atau kecerahan dan suhu air. Sifat kimia perairan antara lain, kandungan gas terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor biologi yang berpengaruh adalah komposisi jenis hewan dalam perairan diantaranya adalah produsen yang merupakan sumber makanan bagi hewan bentos dan hewan predator yang akan mempengaruhi kelimpahan bentos (Setyobudiandi, 1997).
Bentos adalah organisme-organisme yang hidup pada dasar perairan (Ramli, 1989). Menurut Odum (1993) bentos adalah organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan. Berdasarkan ukurannya, hewan bentos yang tersaring dengan saringan bentos berukuran 0,5 mm disebut makrobentos (Setyobudiandi, 1997).
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos dan interaksi spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas. Adapun faktor abiotik adalah fisika kimia air yang diantaranya suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar.
Zoobentos adalah hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1993). Hewan ini merupakan organisme kunci dalam jaring makanan karena dalam sistem perairan berfungsi sebagai pedator, suspension feeder, detritivor, scavenger dan parasit. Makrobentos merupakan salah satu kelompok penting dalam ekosistem perairan. Pada umumnya mereka hidup sebagai suspension feeder, pemakan detritus, karnivor atau sebagai pemakan plankton.
Berdasarkan cara makannya, makrobentos dikelompokkan menjadi 2:
a.       Filter feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring air.
b.      Deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat dasar.
Kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder) umumnya tedapat dominan disubstrat berpasir misalnya moluska-bivalvia, beberapa jenis echinodermata dan crustacea. Sedangkan pemakan deposit banyak tedapat pada substrat berlumpur seperti jenis polychaeta.
Berdasarkan keberadaannya di perairan, makrobentos digolongkan menjadi kelompok epifauna, yaitu hewan bentos yang hidup melekat pada permukaan dasar perairan, sedangkan hewan bentos yang hidup didalam dasar perairan disebut infauna. Tidak semua hewan dasar hidup selamanya sebagai bentos pada stadia lanjut dalam siklus hidupnya. Hewan bentos yang mendiami daerah dasar misalnya, kelas polychaeta, echinodermata dan moluska mempunyai stadium larva yang seringkali ikut terambil pada saat melakukan pengambilan contoh plankton.
The Benthos encloses the communities of plants and animals that live permanently in or on soft and rocky bottoms.
a.      Psammon (sandy soft substrate): Along exposed gravel and sandy shores of the sublitoral, waves produce an unstable benthic environment. Few plants can attach to the shifting substrate, and therefore few grazing animals are found. When currents deposit sand in quiet coves and bays, the habitat is more stable. Here, the size and shape of the sediment particles and the organic content of the sediment determine the quality of the environment. The size of spaces between particles regulate the flow of water and the availability of dissolved oxygen, thus enabling the establishment of mesofauna. Such communities made up of microscopic plants and animals live in-between the grains of sand along sea shores and at the bottoms of the oceans.
Most sand and mud animals are detritus feeders, and most detritus is former plant material that is gradually degraded by bacteria and fungi.
Lancelets of the phylum acrania, include one characteristic species, the Branchistoma lanceolata. This is a hydro-dynamically shaped organisms that can swim, but usually lies buried in sand with only the anterior-ventral end protruding outward. Its elongated body with tapering ends, is compressed from side to side, has small median fins and a pair of lateral finlike metapleural folds. Swimming and burrowing are accomplished by the contraction of the myomeres. It feeds by pumping water into the mouth through the oral hood, whose edges bear a series of delicate cirri, that act as a strainer and exclude larger particles, while filtering minute suspended food particles out of the water. The mouth is located in the center of a transverse portion known as the velum. Water in the pharynx escapes into an atrium through 100 or more pharyngeal slits. Larger particles continue posteriorly, whereas small ones are deflected into the midgut cecum. As this mass is passed down the gut and rotated by ciliary action it is degraded further by enzymatic reaction. Fecal material is discharged through the posteriorly located anus. Absorbed nutrients are distributed by a circulatory system. Although no heart is present, hemolymph is propelled by the contraction of the arteries. Apart from excretion via diffusion, excretory organs are segmentally arranged in groups of protonephridic solenocytes that lie in the dorsal coelomic canal. The nervous system consists of a tubular nerve cord located dorsally to the notochord.

 Brachistoma lanceolata

Nematods constitute a phylum of widespread and abundant animals. They occur in enourmus numbers in the interstitial spaces of marine bottom sediments. These animals are usually elongated, radially symmetrical with tapered ends. This threadlike, minute size enables them to progress through the sand grains by whipping and undulatory movements. The thick, complex, collagen cuticle is composed of several layers and is shed up to four times in its life. Unlike the exoskeleton of arthropods, the nematode cuticle grows between molts.

Nematods + Microhedylidae
The echinoids (sand dollars - phylum echinodermata) feed on detritus particles found between the sand grains. Holothuria (sea cucumbers) which as echinoids belong to the same phylum echinodermata, do so as well. Sea cucumbers are found wedged in cracks and crevices as well as on the flat sandy benthos. Some burrowing sea cucumbers purify the sand that is high in organic detritus which supports a large quantity of bacteria.
Endofauna in situ
Most burrowing lamellibranchs (phylum bivalves) inhabit sandy bottoms. To reduce the intake of sediments, siphonal extensions of the mantle that are separated into an inhalant and exhalant openings, are yet another adaptation.
Polychatea are the dominating group among annelids in any sandy substrate. They reflect metamerism (segmentation of the trunk); i.e. neither prostomium (mouth & head), nor the pygidium carrying the anus, are segmented. Polychaets bear paired parapodia on each segment. Although these can vary in shape and size, each is composed of a dorsal notopodium and a ventral neuropodium, both containing a large number of setae (chitinous bristle) that provide traction against the substratum.
The epibentic sponge Suberites domuncula houses a hermit crab Paguristes oculatus which carries the sponge over the sandy substrate. This hermit is a rather sluggish filter feeder, and thus less advantaged by its heavy load than an actively scavenging hermit would be.

Polychaeta

b.      Pelos (muddy soft substrate): Beach sand is fairly coarse and porous, graining and losing water quickly, while the fine particles of mud hold more water and replace it more slowly. Oxygen is not resupplied quickly, and metabolic waste products are removed slowly or not at all, giving rise to anoxic conditions that produces H2S (rotten egg-smell), which is the main reason why pelos does not support an interstitial fauna.
As in psammon, the community of microscopic organisms of the pelos live on (epi-) or in (endo-) the muddy or soft substrate. Some buried bivalves that live below the oxygen level in the anoxic zone of the pelos use their siphons to obtain food and oxygen from the water at the muddy surface.
Quite a substantial amount of the scanned psammon, consists of shells from mussels and other snails that share a common lethal feature; certain herbivorous gastropods use the radula as a drill to penetrate the shells of their victims before softening and feeding upon the inner tissues with secretions from a gland on the foot or the proboscis.
Annelids not only exist on/in sandy bottoms, but have also conquered the muddy substrates. Chaetopteridae feed by filtering water through a mucous bag. These species live in a large U-shaped tube composed of a parchment-like material. Three piston-like parapodia propel water through the tube. At the rear end of the bag, the food-laden mucus is constantly rolled into a pellet, and when this reaches a certain size the fans stop beating and the pellet is carried forward by the cilia to the mouth.
 The endofauna groups all organisms that spend most of their lives in the substrate, digging and burrowing.
Ophiurea (brittle stars) like that of sea stars are composed of long slender arms and a central disc. The arms are nearly filled by a series of large vertebral ossicles, with each vertebra covered by flattened shields. The articulation of the arm ossicles and their musculature give the arms great mobility. Brittle stars move by flexing and pushing with their arms rather than by means of the podia. Arms can be broken off at any point if seized by a predator (autotomy). In the Mediterranean, Ophiurea live in burrows on muddy bottoms. Being deposit feeders, they bury themselves into the pelos. To ensure its nutritional requirement, they just stretch the arms through the substrate into the open water to grasps potential prey.
Along rocky shores of the sublittoral live some rock-boring bivalves of the species Rocellaria (=Gastrochaena) dubia and Lithophaga lithophaga. Both corrode calcareous stones, by drilling a smooth whole into the rock. Upon successful settlement onto a suitable site as a veliger larvae, they reside permanently in that substrate. Caving itself is mediated by acidic secretion which is both time-consuming and a strenous task for these organisms.
As filter feeders, they have to make sure that their in- and exhaling siphons are stretched out into the open water. Getting hold of L.lithophaga involves the fragmentation of the rock itself; unfortunately excessive harvest in certain areas brought this species close to extinction. Being a slow growing species (an adult of the size of 60-70mm is roughly 60-70 years old) it should not be collected anymore for at least the next 20 years.
After death of these borers and under natural circumstances, natural succession enables secondary users, mainly mesofauna, to take advantage of the premade shelter.
Lithophaga lithophaga

            Contoh lain dari infauna adalah Mitra cookii, Thais kieneri, Natica onea, Pirene testudinaria, dan Cyprea carneola.
            Selain itu tumbuhan yang hidup di substrat berlumpur seperti diatom, yang hidup di lapisan permukaan lumpur dan biasanya menghasilkan warna kecoklatan pada permukaan lumpur pada saat terjadi pasang-turun. Tumbuhan lain termasuk makroalga, Glacilaria, Ulva, dan Enteromorpha. Pada daerah lain, khusus pada pasut terendah hidup berbagai rumput laut, seperti Zostera.

Kesimpulan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adaptasi Bentos pada substrat berlumpur sebagai berikut:
a.       Merupakan deposit feeder.
b.      Merupakan epifauna atau endofauna (infauna).
c.       Punya semacam siphon yang berfungsi untuk menangkap makanan dan oksigen ke air dari permukaan lumpur.
d.      Punya cangkang.
e.       Punya kemampuan menggali dan membuat liang.

DAFTAR PUSTAKA

Rovigno, 2010. Benthos. http://www.sbg.ac.at/ipk/avstudio/pierofun/rovigno/rovigno2.htm. diakses pada hari Minggu, pukul 14.00 WITA.

Rustam, 2001. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Estuaria secara Terpadu dan Berkelanjutan. Diakses pada hari Minggu, pukul 14.00 WITA.

Darojah, Y., 2010. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan Rawapening, Kabupaten Semarang. Diakses pada hari Minggu, pukul 14.00 WITA.

I.T. Webster, P.W. Ford, B. Robson, N. Margvelashvili, J. Parslow. 2003. Conceptual models of the hydrodynamics, fine sediment dynamics, biogeochemistry and primary production in the Fitzroy Estuary. Draft Final Report For Coastal CRC Project CM-2 October 2003. CSIRO Land and Water GPO Box 1666, Canberra 2601.

Johannessen, J.W., MacLennan, A., and McBride, A, 2005. Inventory and Assessment of Current and Historic Beach Feeding Sources/Erosion and Accretion Areas for the Marine Shorelines of Water Resource Inventory Areas 8 & 9, Prepared by Coastal Geologic Services, Prepared for King County Department of Natural Resources and Parks, Seattle, WA.

Kadi, Achmad dan Wanda S. A. 1988. Rumput Laut (algae): Jenis, Reproduksi,Budidaya, dan Pasca Panen. Seri Sumber Daya Alam 141.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi.
Nybakken. James W. 1982. Marine Biology : an ecological approach (terjemahan). PT. Gramedia, Jakarta.

Zedler,J.B. 1980. Algal mat productivity: Comparisons in a salt marsh. Estuaries 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar